Kenaikan PBB Bikin Gejolak, Mendagri Tito: Bukan karena Efisiensi Anggaran Pusat

By Sehat Siahaan - Monday, 18 August 2025
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian

Jakarta – Polemik kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di sejumlah daerah menuai sorotan publik.

Sejumlah pihak menilai lonjakan pajak hingga ratusan persen itu dipicu efisiensi fiskal pemerintah pusat yang memangkas dana transfer daerah hingga 50 persen. 

Namun, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian menegaskan kebijakan kenaikan PBB tidak terkait langsung dengan efisiensi anggaran.

Menurut Tito, mayoritas daerah yang menaikkan PBB sudah menetapkan aturan tersebut sejak 2022, jauh sebelum pemerintah pusat menerapkan kebijakan penghematan anggaran di awal 2025. 

“Kami sudah melihat daerah-daerah ini, ada yang menaikkan 5 persen, 10 persen, bahkan ada yang berdampak di atas 100 persen. Itu total ada 20 daerah,” ujar Tito di Jakarta, Jumat malam, (15/8/ 2025).

Dari 20 daerah tersebut, lanjutnya, dua di antaranya yakni Kabupaten Pati dan Kabupaten Jepara, sudah membatalkan kenaikan setelah gelombang protes masyarakat.

Gelombang Protes hingga Istana Angkat Bicara

Sebelumnya, ribuan warga Kabupaten Pati, Jawa Tengah, turun ke jalan menolak kebijakan kenaikan PBB-P2 sebesar 250 persen.

Demonstrasi besar itu bahkan menyerukan Bupati Pati, Sudewo, untuk mundur dari jabatannya. 

Akhirnya, pemerintah daerah setempat mencabut kebijakan tersebut dan mengembalikan tarif PBB ke besaran tahun 2024.

Istana Kepresidenan pun ikut menepis anggapan bahwa kebijakan efisiensi anggaran pusat menjadi penyebab melonjaknya tarif pajak daerah.

Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menyatakan, setiap pemerintah daerah memiliki kewenangan penuh untuk menentukan besaran tarif PBB.

“Jadi bukan karena dana transfer kurang. Itu murni kebijakan masing-masing daerah,” katanya.

Kenaikan PBB Dinilai “Jalan Pintas” Fiskal

Meski pemerintah menegaskan tidak ada kaitan dengan efisiensi pusat, kalangan akademisi menilai kenaikan drastis PBB menunjukkan kecenderungan “jalan pintas” fiskal. Direktur Paramadina Public Policy Institute, Ahmad Khoirul Umam, menyebut strategi itu pragmatis dan dangkal karena membebani rakyat tanpa inovasi nyata dalam mengoptimalkan potensi daerah.

“Kebijakan ini tidak menghadirkan pembangunan berkelanjutan, justru berpotensi menciptakan instabilitas sosial-politik lokal,” ucapnya tegas.

DPR Ingatkan Pemda Jangan Bebani Rakyat

Kritik juga datang dari anggota Komisi II DPR, Deddy Sitorus. Politikus PDIP itu menilai pemerintah daerah seharusnya tidak hanya mengandalkan kenaikan pajak untuk menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD).

“Kalau ekonomi masyarakat belum pulih, kenaikan pajak malah bisa menurunkan daya beli dan justru PAD tidak naik,” tuturnya.

Ia menegaskan, solusi terbaik adalah efisiensi belanja daerah dan inovasi pengelolaan ekonomi lokal. “Pajak boleh naik, tapi harus sesuai dengan kemampuan masyarakat, bukan sekadar jalan cepat menutup defisit,” ujarnya.

Kesimpulan

Kisruh PBB di sejumlah daerah menjadi cermin dilema fiskal pemerintah daerah. Di satu sisi, ada kebutuhan meningkatkan PAD untuk pembiayaan pembangunan. Namun di sisi lain, kenaikan pajak yang terlalu ekstrem berisiko memicu gejolak sosial.

Pemerintah pusat mengingatkan, setiap kebijakan pajak daerah wajib mempertimbangkan kondisi sosial-ekonomi masyarakat serta melibatkan partisipasi publik.[]