Kupang – Program unggulan nasional Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali menjadi sorotan tajam setelah insiden keracunan massal terjadi di SMP Negeri 8 Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Sebanyak 140 siswa harus mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit akibat gejala keracunan makanan, mulai dari mual, muntah, diare hebat, hingga dehidrasi serius.
Sebagai bentuk penanganan pasca-insiden, pihak sekolah memutuskan untuk meliburkan seluruh kegiatan belajar tatap muka dan mengganti dengan sistem pembelajaran daring sejak Rabu, 23 Juli 2025.
“Hari ini seluruh siswa kami, sebanyak 1.050 orang, melaksanakan pembelajaran secara online sebagai masa pemulihan setelah kejadian kemarin,” ujar Kepala SMP Negeri 8 Kota Kupang, Maria Th. Roslin Lana.
Maria menjelaskan, pihak sekolah sejauh ini belum mengetahui penyebab pasti keracunan, mengingat makanan disuplai langsung oleh dapur penyedia MBG dan bukan hasil pengolahan internal sekolah.
“Kami hanya menerima dan mendistribusikan makanan ke kelas-kelas. Menu dan pengolahan bukan tanggung jawab kami,” katanya.
Lebih lanjut, Maria menyebut bahwa prosedur pengumpulan kembali wadah makanan juga dilakukan oleh sekolah sebelum akhirnya diambil kembali oleh pihak dapur.
“Kami bahkan sudah sering mengimbau siswa agar tidak memakan makanan yang tampak basi atau berbau. Tapi kemarin mungkin banyak yang tidak sadar bahwa lauk sudah asam,” tuturnya menambahi.
Sebelumnya, pada Selasa (22/7), para siswa menerima makanan MBG berupa nasi, sayur, tahu, dan daging.
Namun, menurut kesaksian sejumlah siswa, rasa lauk hari itu terasa tidak seperti biasanya—tercium aroma asam yang menyengat.
Saat ini, penyelidikan tengah dilakukan oleh Dinas Kesehatan, kepolisian, dan lembaga terkait. Beberapa sampel makanan telah diamankan untuk keperluan uji laboratorium.
Hasil investigasi diharapkan dapat segera mengungkap penyebab utama keracunan dan mencegah insiden serupa di masa mendatang.
Tanggapan Publik dan Desakan Evaluasi:
Insiden ini semakin memperkuat desakan sejumlah pihak, termasuk Dewan Perwakilan Daerah (DPD), agar pengawasan terhadap implementasi program MBG diperketat, terutama pada aspek distribusi dan kualitas makanan.
“Jangan sampai niat baik pemerintah untuk meningkatkan gizi anak-anak malah berbalik menjadi petaka,” kata seorang wali murid dengan nada kecewa.
Dengan jumlah korban yang tidak sedikit, masyarakat kini menanti langkah serius dari pemerintah, termasuk kemungkinan evaluasi terhadap dapur penyedia dan sistem pengawasan mutu program MBG.[]