SIANTAR - Pemerintah Kota (Pemko) Pematangsiantar kembali menuai sorotan publik. Melalui Sekda Junaidi Sitanggang, Pemko membeli aset berupa tanah dan bangunan senilai Rp14,5 miliar yang berlokasi di Jalan Sisingamangaraja, bekas kantor Kecamatan Sitalasari dan eks gedung penanganan Covid-19. Transaksi tersebut dilakukan melalui Notaris Rachmansyah Purba.
Namun hingga kini, pembayaran aset itu belum tuntas. Pemko masih menyisakan utang sekitar Rp6 miliar. Sementara pembayaran awal sebesar Rp8 miliar telah dilakukan pada 2 September 2025 menggunakan dua surat pernyataan sesuai nomor sertifikat, yakni Rp1.816.971.000 pada surat pertama dan Rp6.136.650.000 pada surat kedua.
Hal yang memunculkan tanda tanya besar, meski pembayaran belum rampung, Pemko melalui Badan Pengelola Keuangan dan Pendapatan Daerah (BPKPD) sudah mencatatkan aset tersebut dan bahkan mulai melakukan renovasi bangunan.

Langkah itu memicu kritik tajam dari anggota Komisi III DPRD Pematangsiantar, Erwin Siahaan saat rapat Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (R-APBD) . Ia menilai tindakan Pemko janggal dan berpotensi bertentangan dengan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan aset daerah.

Erwin mengingatkan bahwa pemerintah seharusnya memahami dan mematuhi klausul dalam perjanjian jual beli. Salah satu poin penting dalam perjanjian tersebut menyebutkan bahwa jika sisa pembayaran tidak dilunasi, maka seluruh dana yang telah diserahkan dapat hangus, dan aset kembali kepada pihak pertama.
“Ada perjanjian begitu, dan itu harus diperhatikan. Jangan sampai pemerintah sudah merenovasi bangunan yang secara hukum belum sepenuhnya menjadi milik daerah,” tegas Erwin, Jumat (28/11/2025).
Situasi ini pun menimbulkan pertanyaan yang lebih luas: mengapa Pemko terburu-buru merenovasi aset yang belum lunas pembayarannya? Apakah langkah tersebut sudah sesuai aturan pengelolaan keuangan daerah?




