Jakarta, Kabarnas.com – Semangat keberanian dan ketegasan yang mengalir dalam darah Batak sangat terlihat pada diri senator Deddy Yevry Sitorus. Hal ini terbukti dengan sikapnya yang berani meminta Kapolri, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, dan anggota DPR RI untuk mundur bersama. Mundur dari jabatan dianggap sebagai bentuk pertanggungjawaban moral atas kesalahan atau kegagalan dalam menjalankan tugas. Tindakan ini membuka kesempatan bagi pejabat yang ingin menjunjung tinggi etika kerja. Di beberapa negara, seperti Jepang, pejabat mengundurkan diri hanya karena tidak menepati janji kampanye atau membuat kesalahan kecil, seperti salah berpidato atau menerima jamuan makan mewah.
Deddy Yevry Sitorus, anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, mendesak agar semua pejabat di KPU, Bawaslu, Kemendagri, dan DPR mundur bersama menyusul keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pilkada 2024. Desakan ini ia sampaikan dalam rapat evaluasi bersama KPU, Bawaslu, dan Kemendagri mengenai keputusan MK yang mengharuskan pemungutan suara ulang (PSU) di 24 daerah pada Pilkada Serentak 2024. Deddy juga menyatakan kesiapannya untuk mundur sebagai bentuk pertanggungjawaban atas kegagalan DPR, pemerintah, dan penyelenggara pemilu yang dianggap tidak berhasil menyelenggarakan Pilkada 2024 dengan baik.
"Saya tidak tahu apakah kita masih pantas duduk di sini. Kalau kita punya rasa malu, mungkin sudah waktunya kita mundur semua," ungkap Deddy. Ia menekankan bahwa kegagalan ini tidak hanya menjadi tanggung jawab KPU dan Bawaslu, tetapi juga pihak Kepolisian dan DPR. Deddy menilai bahwa keputusan MK menegaskan kegagalan pemerintah sebelumnya dalam menyelenggarakan pemilu. Ia juga menyoroti banyaknya sengketa pilkada, yang mencapai 310 dari 545 daerah, yang menurutnya menunjukkan lebih dari 60 persen pilkada bermasalah. Namun, ia juga menegaskan bahwa daerah yang tidak mengajukan sengketa tidak berarti bebas dari masalah, seperti yang terjadi di 37 daerah yang hanya memiliki kotak kosong.
Baca Juga : Tiga Orang Batak Marga Simarmata, Nainggolan dan Siregar Pecah Bintang di Kepolisian
Deddy juga menyampaikan kekecewaannya terhadap anggaran PSU yang kini harus ditanggung rakyat lewat dana pemerintah daerah. Padahal, menurutnya, kegagalan pelaksanaan PSU adalah akibat kelalaian KPU dan Bawaslu. Ia juga mengkritik tingginya biaya pemilu yang berpotensi menimbulkan praktik korupsi di kalangan pejabat, namun pemerintah mengabaikan masalah ini. "Dengan hampir 60 persen pilkada bermasalah, rakyat yang harus menanggung biayanya. Kepala daerah harus bertarung lagi. Dari mana uangnya? Pinjam, jual, gadai," kata Deddy.
"Selanjutnya, kita akan mengkritik jika kepala daerah terjerat kasus korupsi. Semua ini bermula dari ketidakmampuan kita menjaga pemilu yang adil dan jujur, yang justru menimbulkan pelanggaran di mana-mana, dan rakyat yang harus menanggung akibatnya," tambahnya.
Bravo Deddy Yevry Sitorus, memang sudah seharusnya para pejabat di negara kita memiliki keberanian untuk mundur dari jabatannya jika mereka tidak mampu menjalankan tugas dengan baik.