Jakarta — Media sosial kembali digemparkan oleh kemunculan nama Andini Permata yang mendadak viral usai sebuah video berdurasi lebih dari dua menit tersebar luas di berbagai platform seperti TikTok dan X (sebelumnya Twitter).
Video tersebut memperlihatkan sosok perempuan yang disebut-sebut bernama Andini Permata tengah bersama seorang anak laki-laki yang diduga masih duduk di bangku sekolah dasar.
Penampilannya menjadi sorotan lantaran mengenakan pakaian rumahan seperti singlet putih dan daster, serta kostum lain yang memicu kehebohan warganet.
Tak hanya penampilan, perbedaan usia yang cukup mencolok antara perempuan dalam video dengan bocah laki-laki tersebut juga menjadi perhatian publik.
Bocah itu bahkan tampak kebingungan dalam video, memperkuat reaksi netizen yang mempertanyakan konteks sebenarnya dari rekaman tersebut.
Meski ramai dibicarakan, hingga kini belum ada klarifikasi resmi atau data valid terkait identitas maupun usia pasti wanita yang dikaitkan dengan nama Andini Permata.
Beberapa warganet menyebut video tersebut bisa saja merupakan hasil manipulasi atau konten yang sengaja dibuat untuk memancing kontroversi.
Yang lebih mengkhawatirkan, sejumlah akun di media sosial memanfaatkan popularitas video itu untuk menyebarkan tautan palsu yang mengarah ke situs berbahaya. Banyak tautan yang mengatasnamakan "Video Asli Andini Permata" justru berisi konten menyesatkan, bahkan berpotensi menyebarkan malware atau perangkat lunak berbahaya ke perangkat pengguna.
Pakar keamanan siber pun mengimbau masyarakat untuk tidak sembarangan mengklik tautan viral yang tidak jelas asal-usulnya. Selain berisiko terhadap data pribadi, penyebaran konten eksplisit tanpa verifikasi juga dapat berdampak hukum dan etika.
Hingga saat ini, berbagai pihak masih mencoba mencari tahu siapa sebenarnya sosok di balik nama Andini Permata.
Banyak pengguna TikTok dan Instagram bahkan aktif melacak akun asli yang diduga berkaitan dengan video tersebut, meskipun belum ada kejelasan mengenai validitasnya.
Fenomena ini kembali mengingatkan kita bahwa penyebaran informasi tanpa konfirmasi kebenaran sangat berisiko.
Apalagi jika berkaitan dengan konten sensitif yang melibatkan anak-anak dan dugaan pelanggaran norma sosial.[]
