Pematangsiantar– Kasus narkoba di Kabupaten Bone kembali menyulut sorotan publik soal ketimpangan hukum di Indonesia.
Seorang petani berinisial SS alias ER ditetapkan sebagai tersangka utama dalam dugaan peredaran sabu, sementara seorang oknum polisi berinisial AP (44) dan pengusaha SSD alias UD yang ikut diamankan justru mendapat perlakuan hukum berbeda.
Berawal dari Informasi Pembelian Sabu
Kasi Humas Polres Bone, Iptu Rayendra Muchtar, mengungkapkan kasus ini bermula dari pengembangan penangkapan sebelumnya.
Seorang pengguna berinisial AM mengaku membeli sabu seharga Rp300 ribu dari SS. Dari informasi inilah, polisi kemudian bergerak dan menangkap sang petani.
Modus Transaksi Sistem Tempel via WhatsApp
Dalam pemeriksaan, SS mengaku mendapatkan sabu dari seorang pria yang identitasnya masih misterius.
Transaksi dilakukan dengan metode “sistem tempel” setelah komunikasi melalui aplikasi WhatsApp.
Saat penangkapan, polisi juga menemukan oknum anggota kepolisian AP dan seorang pengusaha UD berada di rumah SS.
Keduanya mengaku baru saja menggunakan sabu. Meski tidak ditemukan barang bukti sabu di tangan mereka, hasil tes urine menunjukkan positif narkoba.
Petani Dijerat Pasal Berat, Polisi dan Pengusaha Direhabilitasi
Perbedaan perlakuan hukum mulai tampak ketika kasus ini bergulir. SS dijerat Pasal 114 ayat (2) juncto Pasal 112 ayat (2) UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dengan ancaman hukuman maksimal penjara seumur hidup.
Sebaliknya, AP dan UD tidak dijerat pasal pidana, melainkan hanya akan diserahkan ke BNK Bone untuk menjalani rehabilitasi.
Publik Bertanya: Hukum Tajam ke Bawah?
Keputusan ini menimbulkan tanda tanya besar di masyarakat. Mengapa seorang petani yang dianggap pengedar langsung dijerat pasal berat, sementara aparat penegak hukum dan pengusaha justru “diselamatkan” dengan rehabilitasi?
Kasus ini kembali menghidupkan perdebatan lama tentang ketidakadilan hukum di Indonesia. Publik pun mempertanyakan: apakah hukum masih tajam ke bawah, namun tumpul ke atas?[]